Kamis, 24 Oktober 2013

Nenek Moyangku Seorang Petani



 
 Rasa rindu kampung  halaman di desa Wangen, kelurahan Polanharjo, Klaten dan juga untuk menghilangkan penat dan sejenak melupakan segala aktifitas berbagai bentuknya di kota propinsi dengan banyak dibumbui kemunafikan, kerakusan, sifat menjilat, persaingan tidak sehat dan kemrosotan moral yang membuat penulis muak dengan semuanya itu, maka penulis menyegarkan sejenak dari hal-hal tersebut dengan mengujungi kampung halaman.

Penulis dulu malu bila diledek teman-teman SD tentang asal kampung halaman, tapi sekarang penulis bangga berasal dari sana, karena suatu desa dengan banyak kekayaan alamnya. Sepanjang perjalanan sudah beraspal, masih teringat jelas pada tahun awal 1980an, dimana jalan masih seperti kali mati dan bila jalan malam hari lampu kendaraan bahkan sepeda angin bagai satu-satunya  sumber cahaya karena hanya satu-satunya lampu yang meneranginya. Penulis pada waktu itu bila diajak ayahanda keluar malam benar-benar takut dan pegangan erat tubuhnya. Waktu di rumah nenek setiap hampir setiap petang lihat orang pada mompa Petromaks atau pada menyalakan teplok untuk penerangan rumah bahkan untuk jalan pada malam hari masih pada pakai obor dari gagang daun pepaya atau bambu dan bagi yang mampu pakai lampu baterai sebagai alat penerangannya.

Sekarang sampai pelosok jalan sudah beraspal, kalau malam hari tidak kalah dengan kota besar dengan lampu listrik yang terang benderang. Hal ini sebenarnya berkat jasa mantan presiden Soeharto yang telah membuat negara kita maju dan disegani se-Asia. Tapi apa mau dikata, manusia jauh dari sempurna, Beliau dikorbankan orang-orang disekitarnya kemudian dihujat oleh  orang-orang yang latah dan haus popularitas pada akhir jabatannya. Tapi penulis yakin suatu saat orang-orang akan membuka mata lagi bagaimana jasa-jasanya dan kembali menyanjung beliau. Dari Patih Gadjah Mada, Soekarno sampai Soeharto sebenarnya membuka mata kita bahwa kehidupan itu bagai roda yang berputar, seperti halnya dulu dengar nama Mike Tyson, dengar namanya saja kita gemetar apalagi ketemu orangnya langsung karena serem tapi sekarang bagai macan ompong, inilah hukum alam yang dibuat dan manusia siapapun dia tidak akan bisa menghindarinya.

Yang membuat Penulis sayangkan dari pemandangan desa yang asri, dulu penulis sehabis pulang sekolah atau pas liburan sekolah bersepeda ke kolam renang alam Cokro Tulung, dimana sumber air menyembur alami, tapi lain dengan Lumpur Lapindo yang membawa derita berkepanjangan, tapi ini membawa berkah penduduk sekitar. Dengan teman-teman bersepeda menikmati perjalanan udara sejuk, kicau burung bersahutan dan pemandangan padi yang menghijau bila baru tanam dan menguning bila akan panen. Sekarang sudah berubah fungsinya, banyak sekali sudah berujud pangkalan truk, rumah penduduk, pertokoan dan sebagainya. Persawahan yang tidak mengharapkan pengairan dari air hujan dan beras yang sudah tersohor pulennya akan lambat laun berkurang produksinya bahkan akan menghilang dari peredarannya bila tidak diantisipasi ke depannya.  Kemana larinya para petani? Mereka banyak beralih profesi sebagai buruh, pencari burung, belut, ikan dan sebagainya. Menyedihkan sekali sebagai penduduk asli tergusur oleh kaum pendatang dan merusak alam pula dimana mereka memperoleh makan dengan mengeksplorasi alam besar-besaran.

Saat ini orang lebih suka pegang handphone dari pada cangkul atau pergi ke mall dari pada ke sawah, bahkan pergi ke sawah seperti pergi ke tempat yang asing atau dijadikan tempat rekreasi, mereka pada lupa kita itu makan nasi dan asalnya dari sawah. Sebenarnya negara kita terkenal dengan sebutan “Gemah ripah loh jinawi” bahkan di syair lagu Koes Plus dinyanyikan “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, cukup mengherankan ketika penulis bezuk teman yang sakit di rumah sakit membeli oleh-oleh buah di toko buah yang di bilang sangat kecil dan terpencil, menjual beraneka buah impor mulai dari China,  New Zeland, Amerika atau Thailand. Padahal penulis pernah bekerja di bagian dokumen  ekpor dan impor paham betul menangani dokumen-dokumennya. Kok bisa barang mudah busuk ribuan kilometer masuk ke toko kecil di pelosok pula. Kadang pikiran penulis agak ngelantur, jangan-jangan diberi pengawet seperti halnya pada daging yang diberi formalin? Penulis juga punya pohon buah-buahan, contoh saja buah jambu matang yang penulis petik, 1-2 hari tidak dimakan paling sudah busuk atau waktu penulis beli pepaya di sepanjang jalan di daerah perbatasan Boyolali, pada waktu beli masih hijau keesokan harinya sudah masak dan 2 hari berikutnya sudah busuk meski dimasukan dalam lemari es. bayangkan saja buah impor dari panen, pengiriman sampai didistribusikan ke toko-toko buah di Indonesia sudah memakan waktu berapa hari meski jenis buahnya tidak mudah busuk? Makanya penulis mencuci berkali-kali atau mengupasnya kalau makan buah-buahan impor. Juga penulis bertanya-tanya, buah-buahan kita yang beraneka ragam pada kemana?  apalagi bahan pokok lainnya seperti beras, kedelai, gandum dan lain-lain, semuanya juga impor, terus kita sebutan negara Agraris itu apa masih relevan, wong yang menunjukan identitas negara Agraris beli dari negara lain.  Uangnya dari mana ?, memang ada yang berasal dari perdagangan international, dari penerimaan pajak, pinjaman atau bantuan negara lain, itupun sudah pada disunat sana-sini!.

Tahu dan tempe adalah makanan rakyat, murah dan meriah asli dari Indonesia meskipun pada perkembangannya diklaim berasal dari negara lain. Berarti menurut pandangan penulis berarti dulu kita menanam kedelai sendiri kemudian mengolahnya menjadi tahu dan tempe tersebut. Suatu pagi penulis sarapan dengan lauk tahu dan tempe karena memang lauk favorit yang masih bisa terbeli sambil melihat berita pagi di televisi, dimana dalam salah satu beritanya para pembuat tempe dan tahu demo karena harga kedelai akan naik 100%, lha yang penulis makan ini apa nanti juga naik 100% ? lalu kenapa harus impor ?, kenapa kita tidak bisa menanam sendiri, wong asal tahu dan tempe itu dari negara kita, berarti dulu khan belum ada impor ?

Negara kita saat ini jangankan di bidang ekonomi, olah raga maupun pendidikan sudah mulai tertinggal dari negara-negara terdekat. Teman penulis seorang pelaut dulu pernah takut singgah ke negara Vietnam karena terimajinasi film-film perang Vietnam yang brutal dan kejam, tapi ketika singgah katanya tak ubahnya seperti kota Semarang yang damai dan penduduknya yang ramah-ramah dan sekarang Vietnam menjelma menjadi salah satu negara maju mengalahkan negara kita. Ketika penulis lulus SMA, memimpikan bisa kuliah di Yogyakarta sebagai kota pelajar dan budaya, penulis bertemu banyak pelajar asing dari Malaysia, Thailand termasuk dari Vietnam menuntut ilmu Pertanian pada kita,  sekarang negara kita malah beli beras dari negara-negara mereka !

Dulu masing-masing Universitas mempunyai kelebihan sendiri-sendiri, misalnya Undip terkenal Fakultas Hukum dan Kedokteran, UNS terkenal dengan Fakultas Pertanian, UGM terkenal dengan Sospol dan Ekonomi, sekarang? Semua Universitas kompak mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya, baik untuk kelas pagi, siang, malam bahkan program akhir minggu untuk mencari income sebanyak-banyaknya sedangkan mutu nomer sekian. Hasilnya pada kemana lulusan sarjana Pertanian? Mereka lebih suka kerja jadi sales mobil, jual beli komputer dan handphone, kerja di bank, mall atau di kantor-kantor pemerintah mungkin atas referensi ortunya dan diselingi pelicin atau wirausaha lain jauh dari dunia pertanian, .

PTPN sebagai wadah pencari kerja lulusan pertanian makin susah payah, di luar Jawa tersaing dengan pihak swasta, di Jawa lahan makin sempit karena desakan ledakan jumlah pertumbuhan penduduk. Kita lihat banyak lahan tanaman keras, seperti kelapa sawit, kopi, coklat dan lain-lain pada di rusak penduduk kemudian ditanami singkong, jagung dan sebagainya dengan alasan lahan tersebut kepunyaan leluhurnya yang diambil alih oleh pihak PTPN secara ilegal. Kita bandingkan waktu jaman pak harto, meski pak Habibi mempelopori pembuatan pesawat sendiri tapi beliau masih memikirkan dan melindungi dunia pertanian, peternakan dan perikanan, tapi sekarang orang terimbas dari reformasi yang kebablasan, mereka pada mikir dirinya sendiri, keluarga atau golongannya dan mikir gampangnya saja kalau terusik akan menuntut dan demo.

Menurut penuturan teman SMA penulis yang bekerja di Amerika, kalau di sana jika tidak ada supply bahan makanan dipastikan akan pada mati kelaparan karena sepanjang mata memandang semua permukaan tanah adalah jalan dan bangunan, sedangkan di sini masih tersedia tanah yang luas sekali dan belum sepenuhnya dimanfaatkan malah cenderung banyak yang disia-siakan  juga di sini masih banyak yang bisa dimanfaatkan untuk bahan makanan, misalkan saja orang jaman dulu mengambil bunga pohon pisang atau tunas bambu  dibikin makanan.

Penulis pernah punya atasan orang Jepang, dia bercerita kalau di Jepang profesi petani sama mulianya dengan profesi-profesi lainnya, seperti pegawai negri, guru, dan lain-lain. Pemerintah sangat memperhatikan nasib mereka, lahan pertanianpun sangat di lindungi dan meskipun   beras impor menyerbu negara Jepang, masyarakat lebih suka makan beras produksi sendiri padahal harganya jauh lebih mahal. Coba bandingkan dengan negara kita, beras untuk rakyat miskin (Raskin) yang asalnya dari sumbangan negara lain saja buat bancaan pejabat-pejabat yang membaginya.  Hampir disemua bidang saat ini banyak tidak beresnya, termasuk juga dalam tata niaga pertanian kita, mulai dari penyaluran kredit dan pupuk sampai penjualan produksi semua tidak lepas dari penyelewengan, maka para petani pada jual tanah saja dari pada pusing mikirnya. Menurut hemat penulis jangan dibiarkan berlarut-larut, jika pemikiran para petani seperti orang-orang sekarang, kalau dirinya, keluarganya, atau golongannya tidak puas atau diusik kemudian ramai-ramai demo, terus para petani pada kompak tidak mau tanam padi, kita mau makan apa?

Bersama tulisan ini, penulis bukan menjelek-jelekan bangsa kita sendiri, tapi memberi gambaran betapa suramnya bangsa kita saat ini di bidang pertanian. Adapun cita-cita penulis, seperti apa yang telah dilakukan oleh orang yang penulis hormati yaitu almarhum ayahanda  tercinta Soewito Brotoatnoyo, dimana mengisi hari-hari sisa hidupnya setelah pensiun dengan  tetap eksis  di dunia pertanian  dengan menggarap tanah peninggalan leluhur dan melestarikan alam   karena nenek moyangku adalah seorang petani.

Ditulis oleh
Pongki Soewito
Putra dari Alm. Soewito Brotoatnoyo,
Pensiunan Karyawan PTPN XVII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar