Rasa rindu
kampung halaman di desa Wangen,
kelurahan Polanharjo, Klaten dan juga untuk menghilangkan penat dan sejenak melupakan
segala aktifitas berbagai bentuknya di kota propinsi dengan banyak dibumbui kemunafikan,
kerakusan, sifat menjilat, persaingan tidak sehat dan kemrosotan moral yang membuat
penulis muak dengan semuanya itu, maka penulis menyegarkan sejenak dari hal-hal
tersebut dengan mengujungi kampung halaman.
Penulis dulu malu bila diledek teman-teman SD
tentang asal kampung halaman, tapi sekarang penulis bangga berasal dari sana,
karena suatu desa dengan banyak kekayaan alamnya. Sepanjang perjalanan sudah
beraspal, masih teringat jelas pada tahun awal 1980an, dimana jalan masih
seperti kali mati dan bila jalan malam hari lampu kendaraan bahkan sepeda angin
bagai satu-satunya sumber cahaya karena
hanya satu-satunya lampu yang meneranginya. Penulis pada waktu itu bila diajak
ayahanda keluar malam benar-benar takut dan pegangan erat tubuhnya. Waktu di
rumah nenek setiap hampir setiap petang lihat orang pada mompa Petromaks atau
pada menyalakan teplok untuk penerangan rumah bahkan untuk jalan pada malam
hari masih pada pakai obor dari gagang daun pepaya atau bambu dan bagi yang
mampu pakai lampu baterai sebagai alat penerangannya.
Sekarang sampai pelosok jalan sudah beraspal,
kalau malam hari tidak kalah dengan kota besar dengan lampu listrik yang terang
benderang. Hal ini sebenarnya berkat jasa mantan presiden Soeharto yang telah
membuat negara kita maju dan disegani se-Asia. Tapi apa mau dikata, manusia
jauh dari sempurna, Beliau dikorbankan orang-orang disekitarnya kemudian
dihujat oleh orang-orang yang latah dan
haus popularitas pada akhir jabatannya. Tapi penulis yakin suatu saat orang-orang
akan membuka mata lagi bagaimana jasa-jasanya dan kembali menyanjung beliau. Dari
Patih Gadjah Mada, Soekarno sampai Soeharto sebenarnya membuka mata kita bahwa
kehidupan itu bagai roda yang berputar, seperti halnya dulu dengar nama Mike
Tyson, dengar namanya saja kita gemetar apalagi ketemu orangnya langsung karena
serem tapi sekarang bagai macan ompong, inilah hukum alam yang dibuat dan
manusia siapapun dia tidak akan bisa menghindarinya.
Yang membuat Penulis sayangkan dari pemandangan
desa yang asri, dulu penulis sehabis pulang sekolah atau pas liburan sekolah bersepeda
ke kolam renang alam Cokro Tulung, dimana sumber air menyembur alami, tapi lain
dengan Lumpur Lapindo yang membawa derita berkepanjangan, tapi ini membawa
berkah penduduk sekitar. Dengan teman-teman bersepeda menikmati perjalanan
udara sejuk, kicau burung bersahutan dan pemandangan padi yang menghijau bila
baru tanam dan menguning bila akan panen. Sekarang sudah berubah fungsinya,
banyak sekali sudah berujud pangkalan truk, rumah penduduk, pertokoan dan sebagainya.
Persawahan yang tidak mengharapkan pengairan dari air hujan dan beras yang
sudah tersohor pulennya akan lambat laun berkurang produksinya bahkan akan menghilang
dari peredarannya bila tidak diantisipasi ke depannya. Kemana larinya para petani? Mereka banyak
beralih profesi sebagai buruh, pencari burung, belut, ikan dan sebagainya.
Menyedihkan sekali sebagai penduduk asli tergusur oleh kaum pendatang dan
merusak alam pula dimana mereka memperoleh makan dengan mengeksplorasi alam
besar-besaran.
Saat ini orang lebih suka pegang handphone dari
pada cangkul atau pergi ke mall dari pada ke sawah, bahkan pergi ke sawah
seperti pergi ke tempat yang asing atau dijadikan tempat rekreasi, mereka pada
lupa kita itu makan nasi dan asalnya dari sawah. Sebenarnya negara kita
terkenal dengan sebutan “Gemah ripah loh jinawi” bahkan di syair lagu Koes Plus
dinyanyikan “Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”, cukup mengherankan ketika
penulis bezuk teman yang sakit di rumah sakit membeli oleh-oleh buah di toko
buah yang di bilang sangat kecil dan terpencil, menjual beraneka buah impor mulai
dari China, New Zeland, Amerika atau
Thailand. Padahal penulis pernah bekerja di bagian dokumen ekpor dan impor paham betul menangani dokumen-dokumennya.
Kok bisa barang mudah busuk ribuan kilometer masuk ke toko kecil di pelosok
pula. Kadang pikiran penulis agak ngelantur, jangan-jangan diberi pengawet
seperti halnya pada daging yang diberi formalin? Penulis juga punya pohon
buah-buahan, contoh saja buah jambu matang yang penulis petik, 1-2 hari tidak
dimakan paling sudah busuk atau waktu penulis beli pepaya di sepanjang jalan di
daerah perbatasan Boyolali, pada waktu beli masih hijau keesokan harinya sudah
masak dan 2 hari berikutnya sudah busuk meski dimasukan dalam lemari es. bayangkan
saja buah impor dari panen, pengiriman sampai didistribusikan ke toko-toko buah
di Indonesia sudah memakan waktu berapa hari meski jenis buahnya tidak mudah
busuk? Makanya penulis mencuci berkali-kali atau mengupasnya kalau makan
buah-buahan impor. Juga penulis bertanya-tanya, buah-buahan kita yang beraneka
ragam pada kemana? apalagi bahan pokok
lainnya seperti beras, kedelai, gandum dan lain-lain, semuanya juga impor,
terus kita sebutan negara Agraris itu apa masih relevan, wong yang menunjukan
identitas negara Agraris beli dari negara lain. Uangnya dari mana ?, memang ada yang berasal dari
perdagangan international, dari penerimaan pajak, pinjaman atau bantuan negara
lain, itupun sudah pada disunat sana-sini!.
Tahu dan tempe adalah makanan rakyat, murah dan
meriah asli dari Indonesia meskipun pada perkembangannya diklaim berasal dari
negara lain. Berarti menurut pandangan penulis berarti dulu kita menanam
kedelai sendiri kemudian mengolahnya menjadi tahu dan tempe tersebut. Suatu
pagi penulis sarapan dengan lauk tahu dan tempe karena memang lauk favorit yang
masih bisa terbeli sambil melihat berita pagi di televisi, dimana dalam salah
satu beritanya para pembuat tempe dan tahu demo karena harga kedelai akan naik 100%,
lha yang penulis makan ini apa nanti juga naik 100% ? lalu kenapa harus impor ?,
kenapa kita tidak bisa menanam sendiri, wong asal tahu dan tempe itu dari
negara kita, berarti dulu khan belum ada impor ?
Negara kita saat ini jangankan di bidang ekonomi,
olah raga maupun pendidikan sudah mulai tertinggal dari negara-negara terdekat.
Teman penulis seorang pelaut dulu pernah takut singgah ke negara Vietnam karena
terimajinasi film-film perang Vietnam yang brutal dan kejam, tapi ketika
singgah katanya tak ubahnya seperti kota Semarang yang damai dan penduduknya
yang ramah-ramah dan sekarang Vietnam menjelma menjadi salah satu negara maju
mengalahkan negara kita. Ketika penulis lulus SMA, memimpikan bisa kuliah di
Yogyakarta sebagai kota pelajar dan budaya, penulis bertemu banyak pelajar
asing dari Malaysia, Thailand termasuk dari Vietnam menuntut ilmu Pertanian
pada kita, sekarang negara kita malah
beli beras dari negara-negara mereka !
Dulu masing-masing Universitas mempunyai kelebihan
sendiri-sendiri, misalnya Undip terkenal Fakultas Hukum dan Kedokteran, UNS
terkenal dengan Fakultas Pertanian, UGM terkenal dengan Sospol dan Ekonomi,
sekarang? Semua Universitas kompak mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya, baik
untuk kelas pagi, siang, malam bahkan program akhir minggu untuk mencari income
sebanyak-banyaknya sedangkan mutu nomer sekian. Hasilnya pada kemana lulusan
sarjana Pertanian? Mereka lebih suka kerja jadi sales mobil, jual beli komputer
dan handphone, kerja di bank, mall atau di kantor-kantor pemerintah mungkin atas
referensi ortunya dan diselingi pelicin atau wirausaha lain jauh dari dunia
pertanian, .
PTPN sebagai wadah pencari kerja lulusan pertanian
makin susah payah, di luar Jawa tersaing dengan pihak swasta, di Jawa lahan
makin sempit karena desakan ledakan jumlah pertumbuhan penduduk. Kita lihat banyak
lahan tanaman keras, seperti kelapa sawit, kopi, coklat dan lain-lain pada di
rusak penduduk kemudian ditanami singkong, jagung dan sebagainya dengan alasan
lahan tersebut kepunyaan leluhurnya yang diambil alih oleh pihak PTPN secara
ilegal. Kita bandingkan waktu jaman pak harto, meski pak Habibi mempelopori
pembuatan pesawat sendiri tapi beliau masih memikirkan dan melindungi dunia
pertanian, peternakan dan perikanan, tapi sekarang orang terimbas dari
reformasi yang kebablasan, mereka pada mikir dirinya sendiri, keluarga atau
golongannya dan mikir gampangnya saja kalau terusik akan menuntut dan demo.
Menurut penuturan teman SMA penulis yang bekerja
di Amerika, kalau di sana jika tidak ada supply bahan makanan dipastikan akan
pada mati kelaparan karena sepanjang mata memandang semua permukaan tanah
adalah jalan dan bangunan, sedangkan di sini masih tersedia tanah yang luas
sekali dan belum sepenuhnya dimanfaatkan malah cenderung banyak yang
disia-siakan juga di sini masih banyak
yang bisa dimanfaatkan untuk bahan makanan, misalkan saja orang jaman dulu
mengambil bunga pohon pisang atau tunas bambu dibikin makanan.
Penulis pernah punya atasan orang Jepang, dia bercerita
kalau di Jepang profesi petani sama mulianya dengan profesi-profesi lainnya,
seperti pegawai negri, guru, dan lain-lain. Pemerintah sangat
memperhatikan nasib mereka, lahan pertanianpun sangat di lindungi dan
meskipun beras impor menyerbu negara
Jepang, masyarakat lebih suka makan beras produksi sendiri padahal harganya
jauh lebih mahal. Coba bandingkan dengan negara kita, beras untuk rakyat miskin
(Raskin) yang asalnya dari sumbangan negara lain saja buat bancaan
pejabat-pejabat yang membaginya. Hampir
disemua bidang saat ini banyak tidak beresnya, termasuk juga dalam tata niaga
pertanian kita, mulai dari penyaluran kredit dan pupuk sampai penjualan
produksi semua tidak lepas dari penyelewengan, maka para petani pada jual tanah
saja dari pada pusing mikirnya. Menurut hemat penulis jangan dibiarkan
berlarut-larut, jika pemikiran para petani seperti orang-orang sekarang, kalau
dirinya, keluarganya, atau golongannya tidak puas atau diusik kemudian
ramai-ramai demo, terus para petani pada kompak tidak mau tanam padi, kita mau
makan apa?
Bersama tulisan
ini, penulis bukan menjelek-jelekan bangsa kita sendiri, tapi memberi gambaran betapa
suramnya bangsa kita saat ini di bidang pertanian. Adapun cita-cita penulis,
seperti apa yang telah dilakukan oleh orang yang penulis hormati yaitu almarhum
ayahanda tercinta Soewito Brotoatnoyo,
dimana mengisi hari-hari sisa hidupnya setelah pensiun dengan tetap eksis di dunia pertanian dengan menggarap tanah peninggalan leluhur dan
melestarikan alam karena nenek moyangku adalah seorang petani.
Ditulis oleh
Pongki Soewito
Putra dari Alm. Soewito
Brotoatnoyo,
Pensiunan Karyawan PTPN XVII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar