Jumat, 31 Agustus 2018

Hidup Itu Bagai Roda yang Berputar (eks Karyawan Pabrik Karung Delanggu Riwayatmu Kini)

Dulu apabila pergantian shift ditandai suara meraung-raung radius 1 Km masih terdengar, ribuan sepeda berhamburan keluar menuju ke segala arah untuk pulang
Penulis mengalami masa paling bahagia di waktu kecil ketika tinggal di Rumah Dinas di Delanggu,  di mana orang tua penulis menjadi karyawan PTPN XVII Karung Goni dan Perkebunan Serat Rosella, di Delanggu, Klaten kurun waktu 1968-1975 dan kembali 1980-1984, Kalau memori ini kembali di ulang, bagaimana bunyi sirine yang meraung-raung seperti pertanda ada serangan udara pada masa revolusi, itu menandakan pergantian shift kerja, di ikuti ribuan pasukan sepeda berhamburan bak sarang semut atau lebah yang di usik, menyebar ke segala penjuru jalan menuju ke rumahnya masing-masing setelah lelah bekerja. Adapun waktu shift terbagi menjadi 3 bagian menjadikan suasana pabrik dari pagi, siang maupun malam selalu hiruk pikuk dengan aktifitas kerja

Penulis pernah tinggal di rumah dinas ini, luas banget mungkin lebih dari 1.000 m2, dulu bagus banget khas bangunan peninggalan kolonial Belanda  dengan pernak-perniknya, penulis mengalami masa paling bahagia pada masa itu
Menurut sejarah, Pabrik karung Delanggu dulunya adalah pabrik gula, di bangun Belanda pada tahun 1917,  dikarenakan produksi yang berlimpah dan daya beli masyarakat yang sangat lemah jaman penjajahan Belanda, pabrik gula ini  di hentikan produksinya pada tahun 1930 bahkan menutup pabrik gula ini pada tahun 1933 dan mengubahnya menjadi pabrik karung goni dan merubah tanaman tebu menjadi tanaman Rosella guna menjadi bahan baku pabrik karung goni. Dengan berjalannya waktu pabrik karung goni ini mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Kemudian pada masa transisi penjajahan Jepang, pabrik karung goni semakin berkembang pesat pada tahun 1942, hal ini disebabkan karung goni menjadi tempat atau wadah beras untuk di kirim ke barak-barak pendudukan Jepang. Kemudian sampai negara kita merdeka pabrik karung goni ini di nasioalisasi, akan tetapi mengalami dengan adanya gerakan G30 S PKI pada tahun 1965 dan karyawan banyak yang tersangkut menjadi anggota PKI, kemudian bangkit tahun 1965 sampai tahun 1980-an dan menjadi perusahaan negara dalam lingkup PTP XVII yang kemudian menjadi PTPN XVII. dimana pernah menjadi pabrik karung terbesar di asia.


Pabrik karung Delanggu berkantor pusat di Semarang, penulis pindah ke Semarang tahun 1984. Pada tahun 1990-an, perusahaan mulai goyah, hal ini di sebabkan biaya penanaman Rosella cukup tinggi, petani banyak yang tidak mau menanam Rosella karena penanganan tanaman yang menjadi bahan baku yang membutuhkan waktu yang lama dan susah. Permasalahan ini bisa di antisipasi dengan impor bahan baku dari Bangladesh, akan tetapi semenjak beralihnya relasi-relasi atau konsumen dari karung goni ke karung plastik, benar-benar memukul pemasaran dari pabrik karung Delanggu, sehingga tidak mampu menanggung biaya produksi terus menerus maka seluruh operasional berhenti pada tahun 1992, Perusahaan di likuidasi dan sebagian besar karyawan di PHK, hanya sejumlah kecil karyawan yang masih di butuhkan di tempatkan ke PTPN lain termasuk alm. ayah penulis, yang di mutasi ke Ujung Pandang bergabung dengan PTPN IX Ujung Pandang.

 






Berbagai kegiatan Bapak-bapak dan ibu-ibu ketika pabrik masih aktif







============================================================================













Dulu adalah perumahan dinas karyawan, bangunan khas arsitektur Belanda sekarang hancur tidak terawat

Ketika penulis napak tilas bekas pabrik Karung Delanggu, perumahan karyawan dan fasilitas-fasilatas pabrik yang komplit di jamannya,  hati ini benar-benar miris bercampur sedih, ingin marah atau protes tetapi kepada siapa? Pabrik yang dulu megah, kokoh dengan ciri khas bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang dibangun dengan keringat bercampur darah jaman penjajahan, termasuk bangunan-bangunan bersejarah serta dulu tempat ribuan orang mencari nafkah,  sekarang di terlantarkan dan dibiarkan tergerus ganasnya alam hingga hancur dikit demi sedikit bersama perputaran waktu.













Setelah lebih dari 25 tahun pabrik tidak beroperasi mantan karyawan masih ada even untuk saling bertemu  berupa pertemuan rutin bulanan dan arisan, dulu wilayah Semarang di pusat perkantoran kota lama dekat Jembatan Berok, sekarang di rumah salah satu peserta pertemuan yang posisi rumahnya mudah di jangkau.  Bila penulis mengantar ibunda tercinta ambil pensiun atau ke pertemuan bulanan bertemu dengan mantan-mantan karyawan atau tinggal istri-istrinya, semua sudah sepuh-sepuh atau manula, jalan sudah pada saling tuntun dan banyak yang diantar anak atau cucunya.

Mantan karyawan hanya tinggal beberapa orang saja yang masih sehat, lainnya sudah banyak  yang sudah tidak bisa apa-apa lagi karena faktor usia, tinggal di teruskan para istri untuk menyambung tali silaturahmi sebagai mantan karyawan PTPN XVII pabrik karung goni dan perkebunan serat Rosella. Masih ada sarana untuk saling bertemu dalam lingkup yang luas dengan masih adanya pertemuan setiap 2 tahun sekali dalam acara Halal Bi Halal antar mantan karyawan se Jawa, jadi masih bisa saling kangen-kangenan meski kadang sudah tidak pada ingat satu dengan yang lainnya dan sangat mengharukan bila Halal Bihalal  masing-masing saling mendoakan semoga bisa bertemu kembali pada 2 tahun yang akan datang.

Demikianlah cukup di sayangkan bekas Pabrik Karung Delanggu yang bernilai sejarah dan pernah mengalami masa kejayaan se Asia kini di di kuasai oleh pihak swasta di terlantarkan dan dibiarkan rusak, suatu saat mantan karyawan beserta istri-istrinya sudah tidak tersisa lagi, semua saksi sejarah akan hilang di telan waktu dan hanya ada cerita bahwa di sini dulu tempat leluhurnya bekerja yang tinggal puing-puingnya.


+++++++++++ **************  ++++++++++




Pengalaman kerja pertama kali dengan orang Jepang



Pada tahun 2000-2002, penulis kerja di perusahaan penyalur tenaga kerja pelaut untuk kapal penangkapan ikan Jepang, dimana penulis mengurusi kapal yang datang dari lautan Internasional masuk ke perairan dan pelabuhan Semarang selanjutkan akan di dock atau di service di Docking Kodja Bahari dibeberapa bagian guna di gunakan untuk mencari ikan lagi di perairan Internasional.

Penulis bekerja mengurusi dokumen kapal dan jadi serabutan lah karena mengurusi apa saja termasuk mendampingi teknisi atau engineer dari Jepang kerena menurut info kalau bekerja di suatu perusahaan Jepang maka semua akan di di usahakan semua dari Jepang termasuk tenaga ahlinya, sedangkan bagian yang remeh temeh akan di serahkan ke tenaga kerja Indonesia, termasuk penulis sendiri...hahaha

Pengalaman yang paling mengesankan saat penulis mendampingi salah satu engineer Jepang, penulis masih ingat sekali namanya, Mr. Kinugawa umur 61 tahun saat itu, baru pertama kali datang ke Indonesia, untungnya beliau sempat belajar mesin di Australia sehingga mahir bahasa Inggris, meski bahasa Inggris penulis ngalor-ngidul alias belepotan, masih mending daripada pengalaman penulis nunggu kapal semalaman di dermaga bersama seorang teknisi dari Jepang juga baru pertama kali ke Indonesia, tidak bisa bahasa Indonesia dan Inggris sama sekali, sedangkan penulis kalau les bahasa Jepang sering mbolos...hahaha, maka kita kalau berkomunikasi menggunakan bahasa tubuh alias bahasa isyarat, malah kayak orang bisu semua...ah...uh..sambil pakai isyarat misalkan makan, bergaya nyendok makan... rasanya jengkel-jengkel gimana gitu, sebenarnya pingin ngobrol saling tukar cerita, tapi apa daya padahal seminggu kita kumpul di satu kapal, setiap hari ketemu.....

Kembali ke Mr. Kinugawa, mulai dari info penjemputan dia di bandara Ahmad Yani, kesan pertama penulis terhadap beliau adalah orang yang angkuh bin sombong karena setiap diajak komunikasi jawabnya seperlunya bahkan kadang tidak jawab sama sekali. Dari bandara biasanya tamu ke Hotel tempat beliau  nanti tinggal selama kerja, meski sudah pukul 05.00 sore dia minta di antar ke lokasi tempat kerja. padahal harapan penulis setelah jemput beliau kemudian antar ke hotel, bisa langsung pulang karena sudah melebihi jam kantor. Dengan terpaksa penulis antar di lokasi kerja di wilayah pelabuhan Tanjung Mas semarang, tiba di kantor untuknya nantinya, beliau menuju kapal tempat beliau kerja sambil lihat terus jam tangan, barulah kita pulang ke hotel dan beliau tetap terus melihat jam tangan sampai ke hotel tempat akan tinggal, penulis tidak berani bertanya, karena mulai dari penjemputan, wajahnya tanpa senyum dan serius sekali bawaannya dan mulai besok penulis di suruh jemput pukul 7.30 pagi.

Singkat cerita ke esokan harinya penulis jemput dia di hotel, penulis datang lebih awal jam 7.15 pagi lebih baik datang lebih awal daripada terlambat, bisa kena semprot melihat raut mukanya yang dingin pasti orangnya temperamen, tapi pemikiran penulis kebalik 180 derajat, penulis malah kena semprot karena jemput beliau terlalu awal, dengan bahasa Inggris meski sedikit-sedikit bisa penulis tangkap, intinya beliau menyuruh jemput pukul 07.30 yang jam itu jemputnya, 15 menit kamu masih bisa makan, minum, siap-siap dan kegiatan lainnya, penulis di pesan untuk menghargai waktu...waduuuh....tepok jidat. Masih dengan serius cerita kalau di Jepang berangkat kerja harus tepat waktu, menggunakan waktu sebaiknya sebelum berangkat dan jangan sampai terlambat meski satu menit saja, karena jadwal kereta setiap menit jedanya.

Sampai di kantor, beliau jalannya santai sampai ke kapal adakalanya hari berikutnya seperti terburu-buru ke kapal, barulah penulis paham mengapa  melihat jam tangan terus, mungkin melihat berapa menit sampai ke tempat kerjanya....top....markotop....!!!, juga waktu jam kerja, tidak ada pengawas beliau tidak pernah sekali-sekali seperti pegawai-pegawai kita,  kalau ada waktu pada mainan WA, Facebook, ngobrol dan lain-lain di jam kerja, kalau beliau kerja ya kerja, bahkan pernah penulis mergoki beliau melamun buru-buru  seperti ketakutan kerja kembali, mungkin takut kali penulis melaporkan jadi kena marah atasan, padahal penulis tidak ada akses ke atasannya...hehehe, jam istirahat juga tepat pada waktunya, baru sedikit kita bisa ngobrol-ngobrol meski ada keterbatasan penulis akan bahasa Inggris...hahaha...
Setelah istirahat kembali ke tempat kerja juga di kasih waktu seperti ketika waktu pagi dan jam pulang pun juga tepat waktu tidak ada lebih awal atau molor, begitu terus malah seperti robot ya......

Barulah 1 bulan kerja di sini, ada perubahan-perubahan pola hidupnya, penulis pikir sudah tercemar budaya di Indonesia...hahaha, waktu kerja ada kalanya bicara sesuatu ke penulis, mungkin menasehati jangan buang sampah sembarangan, pernah penulis kena semprot karena buang bungkus permen ke laut, bayangin aja laut-lautku sendiri kok aku di marahi orang asing...hehehe segitunya disiplinnya dan sebagainnya yang sebelumnya programnya kerja, kerja dan kerja nggak perduli sekitarnya membuat kita bertambah akrab. kadang mungkin kangen rumah cerita istrinya umurnya selisih 2 kalinya, karena lebih sering ke luar negeri jadi telat nikah, katanya lebih cocok jadi anaknya, orangnya gemuk dan galak...hahaha, di laptopnya ada gambar mobil Mercedes digarasi yang atasnya ruangan buat apa saja karena punya rumah sudah dianggap kaya di sana, cerita mobil ini mobilnya keluaran terbaru yang di beli dari gaji kontrak setahun, punya mobil itu pengeluarannya tinggi, dari pajak dan bahan bakarnya padahal dia pakai cuma kalau ada acara keluarga belum tentu seminggu sekali atau beribadat sebulan sekali, dia cerita lebih enak naik kereta, sehat, hemat, tepat waktu dan tidak pernah ketemu macet, dia juga tanya harga mobil di Indonesia terheran-heran harganya bisa sama dengan harga di Jepang.

Yang membuat penulis kagum, mungkin gampang ya bahasa Indonesia, seminggu pertama sepatah dua patah kata sudah bisa, dalam waktu sebulan sudah bisa bicara lumayan lancar, ngomong cewek itu cantik, makanan ini enak, duit kamu banyak dan lain sebagainya padahal cuma belajar otodidak setiap mau tidur dari laptop atau mendengarkan orang-orang yang sedang bicara. Dan yang membuat penulis terkesan dengan beliau pertama kali terkesan serius, arogan dan tanpa senyum, ternyata setelah sebulan lebih disini sering melucu yang membuat penulis yang punya selera humor tinggi malah tersaingi malah sering di buat tertawa terbahak-bahak....hahaha


2 bulan tidak terasa telah berjalan, pekerjaan sudah hampir selesai tinggal trial saja, persiapan keberangkatan kapal tinggal menunggu waktu saja, semua persiapan sudah siap, ada masalah pada kapal waktu trial di tengah laut, master kapal kontak dia melalui radio, karena tanggung jawabnya sedang penulis mengurusi urusan lain sehingga tidak bisa mendampinginya, beliau keluar masih menggunakan wearpack atau baju kerja, tertangkap polisi atau aparat apa di pelabuhan tempat kapal bersandar di giring ke kantor polisi. Setelah melalui negosiasi panjang dan tawar menawar akhirnya di pulangkan dengan sejumlah uang, maklumlah mentalitas aparat kita, padahal ada kegiatan ini sudah menghasilkan in come yang lumayan besar bagi pendapatan daerah, menurut teman yang mengantar dia ke bandara, sepanjang jalan menangis seperti anak kecil katanya merasa bersalah dan menyesal tertangkap polisi, baginya sampai tertangkap polisi seperti seorang penjahat dimana dinegaranya adalah sebuah aib besar.

Sejak saat itu penulis kehilangan beliau, karena semenjak peristiwa itu kegiatan di Indonesia atau di Semarang juga di tutup karena dianggap tidak aman dan kooperatif, bahkan hanya nomer telepon atau email pun penulis tidak punya karena tidak terpikirkan sampai di situ, yang ada hanya beberapa buah foto, kenangan dan pelajaran hidup yang penulis petik dari pengalaman selama mendampingi beliau di Indonesia, 16 tahun telah berlalu, hampir tidak mungkin akan bertemu mungkin beliau sekarang kalau hidup sudah berusia 77 tahun, meski saat ini sekali-kali masih kerja-sama dengan orang Jepang akan tetapi penulis akan selalu ingat pengalaman pertama kali kerja dengan orang Jepang.

______________ *************** ______________